ProsaIndonesia baru pun mulai muncul tahun 1920-an, dengan ditandai munculnya novel monumental berjudul Siti Nurbaya, buah karya Marah Rusli.Lalu zaman Pujangga Baru muncul pula Sutan Takdir Alisjahbana dengan roman berjdul Layar Terkembang.Lalu, menjelang kemerdekaan muncul Armiyn Pane yang menulis novel Belenggu yang dianggap novel modern pada zamannya.
Tuhan, Kau lahirkan saya tak pernah kuminta Dan saya tahu, sebelum saya Kau ciptakan Berjuta tahun, tak berhingga lamanya Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam Tuhan, pantaskah Engkau menunjukkan hidup sesingkat ini Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu Setetes air dalam samudra tak bertepi Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan Meski kuinsyaf, kekecilan akrab dan kedaifanku Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan Aku sanggup mengikuti dan memalsukan permainan-Mu Girang berkhayal dan mencipta banyak sekali ragam Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku Aahh, Tuhan Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu Aku, akan menggunakan kesanggupan dan kemungkinan Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku Jauh mengatasi mahluk lain Kau cipatakan Sebagai khalifah yang penuh mendapatkan sinar cahaya-Mu Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa Tidak tanggung tidak alang kepalang Ya Allah Ya Rabbi Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya sampai ketika terakhir nafasku Kau relakan Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu Ke dalam kegaiban belakang layar keabadian-Mu Dimana saya mengalah lapang dada sepenuh hati Kepada keagungan kekudusan-Mu, Cahaya segala cahaya Sutan Takdir Alisyahbana Toya Bongkah 24 April 1989 Navigasi pos NIKMATHIDUP karya : Sutan Takdir Alisjahbana Api menyala di dalam kalbu, Ganas membakar tiada beragak. Hangus badan rasa seluruh, Gelisah duduk sepanjang hari. Rasa dicambuk rasa didera Jiwa 'ngembara tiada sentosa. Ya Allah, ya Tuhanku! Biarlah api nyala di kalbu, Biarlah badan hangus tertuju. Api jangan Engkau padamkan, Mata jangan
0% found this document useful 0 votes599 views5 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes599 views5 pagesPuisi Aku Dan Tuhanku Oleh Sutan Takdir AlisjahbanaJump to Page You are on page 1of 5 You're Reading a Free Preview Page 4 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Contoh karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam 2. Riwayat adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Puisi Kepada Kaum Mistik Sutan Takdir Alisjahbana - Puisi Kepada Kaum Mistik Sutan Takdir Alisjahbana Kepada Kaum Mistik IEngkau mencari Tuhanmu di malam kelamBila sepi mati seluruh bumiBila kabur menyatu segala warnaBila umat manusia nyenyak terhenyakDalam tilam, lelah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian! Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terangBila dunia ramai bergerakBila suara memenuhi udaraBila nyata segala warnaBila manusia sibuk bekerjaHati jaga, mata terbukaSebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja Aku berbisik dengan Tuhankudalam kembang bergirang ronaAku mendengar suara Tuhankudalam deru mesin terbang diatas kepalakuAku melihat Tuhankudalam keringat ngalir orang sungguh bekerja IIBerderis decis jelas tangkasTangan ringan tukang pangkasMenggunting ujung rambutkuJatuh gugur bercampur debu Aku melihat Tuhanku AkbarUjung rambut di tanah terbabarTeman, aku gila katamu?Wahai, kasihan aku melihatmu Mempunyai mata, tiada bermataDapat melihat, tak pandai melihatSebab beta melihat Tuhan di-mana2Diujung kuku yang gugur diguntingPada selapa kering yang gugur ke tanahPada matahari yang panas membakar 19 Oktober 1937 * 1 Sutan Takdir Alisjahbana. Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 dan wafat pada tanggal 17 Juli 1994 di usia 86 tahun. Sutan Takdir merupakan tokoh yang melakukan pergerakan modernisasi perkembangan bahasa Indonesia sehingga menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan menjadi pemersatu bangsa.
Pembaca Puisi Aku dan Tuhanku AKU DAN TUHANKU Karya Sutan Takdir Alisyahbana Tuhan, Kau lahirkan aku tak pernah kuminta Dan aku tahu, sebelum aku Kau ciptakan Berjuta tahun, tak berhingga lamanya Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam Tuhan, pantaskah Engkau memberikan hidup sesingkat ini Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu Setetes air dalam samudra tak bertepi Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan Meski kuinsyaf, kekecilan dekat dan kedaifanku Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan Aku dapat mengikuti dan meniru permainan-Mu Girang berkhayal dan mencipta berbagai ragam Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku Aahh, Tuhan Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu Aku, akan memakai kesanggupan dan kemungkinan Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku Jauh mengatasi mahluk lain Kau cipatakan Sebagai khalifah yang penuh menerima sinar cahaya-Mu Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa Tidak tanggung tidak alang kepalang Ya Allah Ya Rabbi Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya sampai saat terakhir nafasku Kau relakan Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu Ke dalam kegaiban rahasia keabadian-Mu Dimana aku menyerah tulus sepenuh hati Kepada keagungan kekudusan-Mu, Cahaya segala cahaya Sutan Takdir Alisyahbana Toya Bongkah 24 April 198 ===================================================

BERITABANTUL - 'Aku dan Tuhanku' merupakan puisi indah dan menggetarkan yang dihasilkan sastrawan besar Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana.. STA, sapaannya, bukan saja dikenal sastrawan besar Indonesia, tapi juga ahli tata bahasa Indonesia yang dikagumi semua kalangan.. Jejak hidupnya selalu terkait bahasa dan sastra. Namanya selalu hidup dan memberi inspirasi lewat karya-karyanya yang

Tim indoSastra Pencari Karya Sastra yang Bermutu Tinggi Sastra Angkatan Pujangga Baru, bentuk Puisi Karya Sutan Takdir Alisjahbana Ini adalah salah satu puisi yang diciptakan dengan rangkaian makna indah oleh STA, tentang keyakinan masa depan, kata mengalir pasti dengan pola yang terencana apik Dari buku Tebaran Mega Waktu penulisan 24 April 1935 — Aku meninjau kembang sepatu, Larat berkembang di seberang jalan. Bersorai-sorai kesuma memerah, Dalam girang silau kemilau. Daun kering gugur ke bawah, Bunga kerisut menutup kuncup. Siapakah yang melihat, Siapakah yang teringat? Sebab alam ialah hidup Bertempik sorak muda remaja, Berseri bersinar tunas baru, Sedihlah menyepi selara yang jatuh Originally posted 2012-10-20 202552. Republished by Blog Post Promoter

SutanTakdir Alisjahbana punya sumbangan tak langsung dan langsung pada pemikiran Islam di Indonesia. Seumur hidup tak mau diam, menggugat, mencari 'yang jelas'. Pada siang seusai hujan itu, di Desa Tugu, Cisarua, Dian Sastro membacakan puisi Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berjudul Aku dan Tuhanku.

Sutan Takdir Alisjahbana adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Alisjahbana lahir di Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara, pada tanggal 11 Februari 1908. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Juli bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa contoh puisi karya Sutan Takdir Alisjahbana untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa. Kumpulan Puisi karya Sutan Takdir Alisjahbana
DenganSutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru. Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan tentang cinta, baik er0tis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. mohonkan restu Tuhan suatu moga bertemu sejurus lalu dengan dikau bijimataku" Wah
Tim indoSastra Pencari Karya Sastra yang Bermutu Tinggi Sastra Angkatan Pujangga Baru, bentuk Puisi Karya Sutan Takdir Alisjahbana Ini adalah salah satu puisi yang diciptakan dengan rangkaian makna indah oleh STA, tentang keyakinan masa depan dan keagungan Tuhan, kata mengalir pasti dengan pola yang terencana apik Dari buku Tebaran Mega Waktu penulisan 26 April 1935 — Aku berdiri di tepi makam Suria pagi menyinari tanah, merah muda terpandang di mata Jiwaku mesra tunduk ke bawah Dalam hasrat bertemu muka, Melimpah mengalir kandungan rasa Dalam kami berhadap-hadapan menembus tanah yang tebal Kuangkat muka melihat sekitar Kuburan berjajar beratus-ratus, Tanah memerah, rumput merimbun, Pualam berjanji, kayu berlumut Sebagai kilat nyinar di kalbu Sebanyak it curahan duka, Sesering itu pilu menyayat, Air mata cucur ke bumi Wahai adik, berbaju putih Dalam tanah bukan sendiri! Dan meniaraplah jiwaku papa Di kaki Chalik yang esa Di depanMu dukaku duka dunia, Sedih kalbukuku sedih semesta Beta hanya duli di udara Hanyut mengikut dalam pawana Sejuk embun turun ke jiwa Dan di mata menerang sinar Originally posted 2012-10-20 201958. Republished by Blog Post Promoter
PUISIINDONESIA Selasa, 26 Mei 2015 PERJUANGAN Kepada Taman Siswa (Karya: Sutan Takdir Alisjahbana) PERJUANGAN Kepada Taman Siswa Tenteram dan damai? Tidak, tidak Tuhanku! Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi. Tenteram dan damai berbaju putih di dalam kubur. Tetapi hidup ialah perjuangan. Perjuangan semata lautan segera.
Puisi Sutan Takdir Alisjahbana merupakan puisi yang memiliki kedalaman sastra yang begitu dalam dan kuat. Penyair yang termasuk angkatan pujanga baru ini memiliki karya yang banyak baik dalam bentuk novel, esai dan puisi. Tokoh kelahiran Natal, Sumatera Utara selain sebagai seorang sastrawan, ia juga termasuk sebagai seorang pembaharu dalam tata bahasa Indonesia. Lalu apa saja karya yang lahir dari Sutan Takdir Alisjahbana, berikut ulasannya Sekilas Tentang Sutan Takdir Alisjahbana Sutan Takdir Alisjahbana lahir pada tanggal 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun. Baca Juga 13 Puisi Amir Hamzah Yang Wajib Anak Muda Baca Sepanjang karirnya sebagai seorang sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia ia memiliki berbagai karya antara lain Tak Putus Dirundung Malang novel, 1929, Dian Tak Kunjung Padam novel, 1932, Tebaran Mega kumpulan sajak, 1935, Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1936. Layar Terkembang novel, 1936, Anak Perawan di Sarang Penyamun novel, 1940, Kebangkitan Puisi Baru Indonesia kumpulan esai, 1969. Grotta Azzura novel tiga jilid, 1970 & 1971, Lagu Pemacu Ombak kumpulan sajak, 1978, Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi 1978. Baca Juga 10 Puisi Rivai Apin Yang Wajib Anak Muda Baca Kalah dan Menang novel, 1978, Perempuan di Persimpangan Zaman kumpulan sajak, 1985, Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan 1985, Sajak-Sajak dan Renungan 1987. 1. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “Manusia Utama” Beta selalu menggemari pemandangan lantang di pinggir laut yang luas, di puncak gunung yang tinggi. Dan sekarang beta berdiri di tengah padang yojana sejauh mata memandang ruang lapang, diatas mem- bentang gelanggang awan terbang. Disini dada kurasa limpah ruah, darah mengalir berbusa-busa, tenaga mekar tiada berhambat. Tuhan menjadikan manusia penguasa seluruh buana matanya tembus menerus segala adangan, telinganya menangkap segala getaran, langkahnya melewati segala watas dan tangannya menjingkau ke balik angkasa. Dan hanyalah ketakutannya sendiri yang menjadikan makhluk itu ulat papa tiada berdaya. Beribu tali dibelitkannya sekeliling badannya, se- hingga akhirnya ia tiada dapat bergerak lagi. Picik matanya akan rahasia alam dan takutnya akan mati disucikannya menjadi agama. Malasnya berpikir dan menyelidiki dinamakannya percaya. Takutnya bertanggung jawab disembunyikannya di balik nasib. Ngerinya berjalan sendiri dipalutnya dengan keluhuran sepuhan adat. Dan akhirnya tertutuplah sekalian kemungkinan alam yang luas baginya dalam kepompong gelap yang di- jalinnya sendiri ……. Sedangkan bagi kepompong ulat, makhluk yang lata itu, alam menjanjikan kemuliaan dan kemegahan, telah sepatutnya bagi kepompong manusia, makhluk utama yang lengkap berakal dan berbekal itu, hanya teruntuk kehinaan dan kemelaratan. Sebagai hukuman akan kealpaannya terhadap pen- jelmaan kebesaran dan kekuasaan Tuhan dalam dirinya. 4 Mei 1944 Dari Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 25 Desember 1945 2. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “Seindah ini” Tuhan, Terdengarkah kepadamu himbau burung di hutan sunyi meratapi siang di senja hari? Remuk hancur rasa diri memandang sinar lenyap menjauh di balik gunung. Perlahan-lahan turun malam menutupi segala pan- dangan. * Menangis, menangislah hati! Wahai hati, alangkah sedap nikmatnya engkau pandai menangis! Apa guna kutahan, apa guna kuhalangi? * Aku terima kasih kepadamu, Tuhan, memberiku hati tulus-penyerah seindah ini Sedih pedih menangis, waktu menangis! Girang gembira tertawa, waktu tertawa! Marak mesra bercinta, waktu bercinta! Berkobar bernyala berjuang, waktu berjuang! 10 Agustus 1937 Dari Pujangga Baru, Agustus, 1937 Baca Juga 13 Puisi Asrul Sani Yang Wajib Anak Muda Baca 3. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “Pohon Beringin” Kenangan kepada Solo Tinggi melangit puncakmu bermegah, Melengkung memayung daunmu bodi. Berebut akar mencecah tanah, Masuk membenam ke dalam bumi. Lemah mendesir daunmu bernyanyi, Gemulai berbuai dibelai angin, Nikmat lindap menyerak di kaki, Mengundang memanggil leka berangin. Nampak beta berkumpul kelana, Letih semadi berjuang tiada, Melunjur kaki menyandar kepala, Menanti nasib damai bahagia. Ya Allah, ya Rabbana, Turunkan badai datangkan taufan, Rubuhkan tumbangkan pohon perkasa, Pelindung lelah, pengiba insan. Rebahkan terbangkan jangan tiada, Bersihkan bumi dari segala Tempat terlengah tempat terlena Tempat terhanyut dalam tiada Lama sudah tani menanti, Gelisah tangan memegang bajak, Tiada tertahan hati gembira, Hendak meluku membalik tanah. Kuning permai benih bernas Menanti memecah menyerbu hidup, Girang berbunga girang berbuah Di dalam hujan disinar suria. 25 September 1935 Sutan Takdir Alisjahbana “Kalah Dan Menang” Tidak, bagiku tidak ada kalah dan menang! Sebab kuputuskan, bahwa kemenangan sudah pasti untukku saja. Kalah tinggal pada mereka yang lain Yang mengeluh bila terjatuh, Yang menangis bila teriris, Yang berjalan berputar-putar dalam belantara * Di padang lantang yang kutempuh ini, aku tak mungkin dikalahkan Sebab disini jatuh sama artinya dengan bertambah kukuh berdiri. Tiap-tiap pukulan yang dipukulkan berbalik berlipat ganda kepada sipemukul. Malahan algojoku sekalipun yang akan menceraikan kepalaku dari badanku, akan terpancung sendiri seumur hidupnya Melihat mataku tenang menutup dan bibirku berbunga senyum. 4 Mei 1944 Dari Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 23 Desember 1945. Baca Juga 13 Puisi Ajip Rosidi yang Wajib Anak Muda Baca 5. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “Segala, Segala” Ani, ya Aniku Ani, Mengapa kamas engkau tinggalkan? Lengang sepi rasanya rumah, Lapang meruang tiada tentu. Buka lemari pakaian berkata, Di tempat tidur engkau berbaring, Di atas kursi engkau duduk, Pergi ke dapur engkau sibuk. Segala kulihat segala membayang, Segala kupegang segala mengenang Sekalian barang rasa mengingat, Sebanyak itu cita melenyap. Pilu sedih menyayat di kalbu, Pelbagai rasa datang merusak. 20 April 1935 6. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “Kepada Kaum Mistik” I Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam Bila sepi mati seluruh bumi Bila kabur menyatu segala warna Bila umat manusia nyenyak terhenyak Dalam tilam, lelah lelap. Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian! Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terang Bila dunia ramai bergerak Bila suara memenuhi udara Bila nyata segala warna Bila manusia sibuk bekerja Hati jaga, mata terbuka Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja Aku berbisik dengan Tuhanku dalam kembang bergirang rona Aku mendengar suara Tuhanku dalam deru mesin terbang diatas kepalaku Aku melihat Tuhanku dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja II Berderis decis jelas tangkas Tangan ringan tukang pangkas Menggunting ujung rambutku Jatuh gugur bercampur debu Aku melihat Tuhanku Akbar Ujung rambut di tanah terbabar Teman, aku gila katamu? Wahai, kasihan aku melihatmu Mempunyai mata, tiada bermata Dapat melihat, tak pandai melihat Sebab beta melihat Tuhan di-mana2 Diujung kuku yang gugur digunting Pada selapa kering yang gugur ke tanah Pada matahari yang panas membakar 19 Oktober 1937 7. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “Selalu Hidup” Dan ketika aku melihat dari kebunku kebawah ke sawah tunggul jerami di tanah yang rekah, dan dari sana memandang ke bukit kering merana, terus ke hutan hijau dibaliknya, sampai ke gunung yang permai bersandar di langit biru, maka masuklah bisikan kedalam hatiku Hidup ialah maju bergerak, selalu, selalu maju bergerak, gembira berjuang dari tingkat yang satu ke tingkat yang lain. ………………………………….. Topan, datanglah engkau menyerang! Malang, datanglah engkau menghalang! Kecewa, engkaupun boleh datang mendera! Badanku boleh terhempas ke bumi! Hatiku boleh hancur terbentur! Wahai, teman, besi baja yang keras hanya dapat ditempa dalam api yang panas. Dan Tuhan, berikan aku api senyala-nyalanya! Tiap-tiap beta keluar dari nyalamu, terlebur dalam bakaran apimu, nampak kepada beta Dunia bertambah jelita! Diriku bertambah terkurnia! Dan engkau, Tuhan, bertambah mulia! 21 Agustus 1937 Dari Pujangga Baru, 1937 Baca Juga 22 Puisi Wiji Thukul Yang Wajib Anak Muda Baca 8. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “Buah Karet” Sekali aku duduk dibawah pohon karet dan terkejut mendengar letusan nyaring diatas kepalaku biji matang menghambur dari batangnya. Ya, aku tahu, dimana-mana tumbuh menghendaki bebas dari ikatan! * Terdengarkah itu olehmu, wahai angkatan baru? Putuskan, hancurkan segala yang mengikat! Rebut gelanggang lapang disinar terang! Tolak segala lindungan! Engkau raja zamanmu! * Biar mengeluh, biar merintih segala nenek moyang! Lagi pohon yang bisu insaf, bahwa biji yang sekian lama dikandungnya itu akan mati busuk dibawah lindungan. Bahwa bayangan rindang yang meneduhi itu meng- halangi tumbuh. 5 Mei 1944 Dari Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 25 Desember 1945. 9. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana Menghadapi Maut Kulihat, Kurasakan Peluru mendesing menembus kening, Pedang bersinau memenggal leher, dan Tergulinglah jasad di tanah Darah mengalir merah panas. Sekejap pendek Kaki melejang-lejang, Urat berdenyut meregang-regang. Sudah itu Diam Sepi Mati, Muka menyeringai pucat pasi. Datang mendorong dari dalam Mana harapanku, mana cita-citaku? Sebanyak itu lagi kan kukerjakan! Mana isteriku, mana anakku, karib handai tolan? Lenyapkah sekaliannya selama-lamanya? Hampa! Kelam! Ngeri! Tanganku mengapai-gapai orang karam mencari ranting. Wahai nasib, Sebanyak itu perjuangan! Sebanyak itu pengikat! Pemberat hati kepada dunia! Sedangkan, Dari semula telah kutimbang, Kupikir, kurenung matang-matang Ditengah peperangan seluruh buana, Hebat dahsyat tiada beragak Bom peluru mungkin menghancur remuk, Perampok penyamun mungkin menggolok, Disentri, kolera, lapar mungkin mencekik … Dan diantara mati perlbagai mati, Bukankah ini telah kupilih, Dengan hati jaga, mata terbuka? Wahai rahsia hidup! Penuh pertentangan, penuh kesangsian! Berat sungguh menjadi manusia! Tahanan Seksi Tanah Abang, Januari 1945 Dari Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 19-20, 10-25 September 1946. 10. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana Hidup Di Dunia Hanya Sekali Mengapa bermenung mengapa bermurung? Mengapa sangsi mengapa menanti? Menarik menunda badai dahsyat seluruh buana tempat ngembara Ria gembira mengejar berlari anak air di gunung tinggi memburu ke laut sejauh dapat Lihat api merah bersorak naik membubung girang marak mengutus asap ke langit tinggi! Mengapa bermenung mengapa bermurung? Mengapa sangsi mengapa menanti? Hidup di dunia hanya sekali Jangkaukan tangan sampai ke langit Masuk menyelam ke lubuk samudra Oyak gunung sampai bergerak Bunyikan tagar berpancar sinar Empang sungai membanjiri bumi Aduk laut bergelombang gunung Gegarkan jagat sampai berguncang Jangan tanggung jangan kepalang Lenyaplah segala mata yang layu Bersinarlah segala wajah yang pucat Gemuruhlah memukul jantung yang lesu Gelisahlah bergerak tangan Terus berusaha selalu bekerja Punah Punahlah engkau segala yang lesu Aku hendak melihat api hidup dahsyat bernyala, menyadar membakar segala jiwa. Aku hendak mendengar jerit perjuangan garang menyerang langit terbentang hendak diserang. Aku hendak mengalami bumi berguncang orang berperang Urat seregang mata menantang 12 Januari 1938 11. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana Pemacu Ombak Pemacu ombak di segara raya, Gelisah terapung berbuai-buai Diatas alun kecil-kecil, Menantikan ombak tinggi padu, Gairah menggulung menuju pantai. Didepan membentang samud’ra biru, Jauh menghabis di garis lengkung, Tempat langit mantap bertahan, Dan awan tipis takjub tertegun. Disini segalanya tiada berhingga Ketinggian langit melingkungi semesta, Keluasan angin di gelanggang biru, Kedalaman rahasia ombak bergolak. * “Datang, datanglah alun perkasa! Tinggi biru berpuncak putih, Saya lah siap diatas peluncur, Menanti anda menjulang tinggi.” * Meninggi, meninggi alun biru. Sejenak pendek otot berseregang mata terpaku jantung terhenti Dan peluncur tangkas merebut ombak, Garang liar mengejar pantai. Cepat cergas pemacu gairah, Tangkas terpegas di papan peluncur, Menguakkan tangan meluruskan badan, Menegakkan kepala anggun bangga, Laksana dewa, muda ria Merangkum rahasia permainan abadi, Antara langit, air dan angin. * Pemacu ombak di segara raya, Gelisah terapung berbuai-buai Diatas alun kecil-kecil, Menantikan ombak tinggi padu, Gairah menggulung menuju pantai. Pantai Kuta, 17 September 1974 12. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “MENUJU KE LAUT” Angkatan Baru Kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan. Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat “Ombak ria berkejar-kejaran di gelanggang biru bertepi langit. Pasir rata berulang dikecup, tebing curam ditantang diserang, dalam bergurau bersama angin, dalam berlomba bersama mega.” Sejak itu jiwa gelisah, Selalu berjuang, tiada reda, Ketenangan lama rasa beku, gunung pelindung rasa pengalang. Berontak hati hendak bebas, menyerang segala apa mengadang. Gemuruh berderau kami jatuh, terhempas berderai mutiara bercahaya, Gegap gempita suara mengerang, dahsyat bahna suara menang. Keluh dan gelak silih berganti pekik dan tempik sambut menyambut. Tetapi betapa sukarnya jalan, badan terhempas, kepala tertumbuk, hati hancur, pikiran kusut, namun kembali tiadalah ingin, ketenangan lama tiada diratap. …………………………….. Kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan. Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat 13. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “KERABAT KITA” Bunda, masih kudengar petuamu bergetar waktu ku tertegun di ambang pintu, melepaskan diriku dari pelukmu “Hati-hati di rantau orang, anakku sayang, Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir. Dimana bumi dipijak disana langit dijunjung.” Telah lama aku mengembara Jauh rantau kujelajah, banyak selat dan sungai kuseberangi, gunung dan gurun kuedari. Baragam warna, bahasa dan budaya manusia, teman aku bersantap, bercengkerma dan bercumbu, lawan aku bertengkar dan berselisih. Di runtuhan Harapa dan Pompeyi aku ziarah, Dari menara Eifel dan Empire State Building aku tafkur memandang semut manusia. Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki aku bangga melihat kesanggupan ummat berpikir, mengatur dan berbuat. Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia di Time Square di New York dan di Piccadily di London. Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta di gurun pasir dan batu Anatolia, saga Islandia yang megah di padang salju yang putih. Bunda, Pulang dari rantau yang jauh berita girang kubawa kepadamu, resap renungan petua keramat, sendu engkau bisikkan di ambang pintu Dimana-mana aku menjejakkan kaki, aku berjejak di bumi yang satu. Dan langit yang kujunjung dimana-mana langit kita yang esa Bunda, Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita, kaya budi kaya hati, pusparagam ciptaan dan dambaan. Honolulu, HARI IBU, 1962 Dari Majalah Horison, Oktober 1971 14. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “BERTEMU” Aku berdiri di tepi makam Suria pagi menyinari tanah, Merah muda terpandang di mega Jiwaku mesra tunduk ke bawah Dalam hasrat bertemu muka, Melimpah mengalir kandungan rasa. Dalam kami berhadap-hadapan Menembus tanah yang tebal, Kuangkat muka melihat sekitar Kuburan berjajar beratus-ratus, Tanah memerah, rumput merimbun, Pualam berjanji, kayu berlumut. Sebagai kilat nyinari di kalbu Sebanyak itu curahan duka, Sesering itu pilu menyayat, Air mata cucur ke bumi. Wahai adik, berbaju putih Dalam tanah bukan sendiri! Dan meniaraplah jiwaku papa Di kaki Chalik yang esa Di depanMu dukaku duka dunia, Sedih kalbuku sedih semesta. Beta hanya duli di udara Hanyut mengikut dalam pawana. Sejuk embun turun ke jiwa Dan di mata menerang Sinar. 26 April 1935 15. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “AIR MATA” Ngalir, ngalirlah air mata, Aku tiada akan nahanmu. Apa gunanya aku halangi, Engkau ngalirkan penuh kalbuku. Seperti air jernih memancar Dari celah gunung rimbun, Seperti hujan sejuk gugur Dari mega berat mengandung Ngalirlah, wahai air mata Engkau pun mendapat hakmu Dari Chalik yang satu. Ngalir, ngalirlah air mata, Aku hendak merasa nikmat Panasmu ngalir pada pipiku. 20 April 1935 16. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “SESUDAH DIBAJAK” Aku merasa bajakMu menyayat, Sedih seni mengiris kalbu, Pedih pilu jiwa mengaduh, Gemetar menggigil tulang seluruh. Dalam duka semesra ini, Beta papa, apatah daya? Keluh hilang di sawang lapang, Aduh tenggelam dibisik angin. Ya Allah, ya Rabbi, Hancurkan, remukkan sesuka hati, Sayat iris jangan sepala. Umat daif sekedar bermohon Semai benih mulia raya Dalam tanah sudah dibajak. 1 Mei 1935 17. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “MENYAMBUT HIDUP” Ya Allah, ya Rabbani, dalam kebesaranMu Engkau hadiahkan aku hidup ini dengan kegirangan dan keindahannya. Sedunia lebar selam besar Engkau sediakan bagiku dalam limpahan kasihMu bintang berkelip cahaya di langit malam, kembang mengorak kuncup di padang sinar, unggas bernyanyi di dahan berbuai Bolehkan aku menampik sekalian rahmat dan nikmatMu yang Engkau curahkan dalam kebesaran dan kemurahanMu itu? Aku akan hidup. Mengoraklah kelopak menyambut sinar selama hari masih siang. Selama siang beta akan bermain di taman seperti tiadakan malam dan apabila malam tiba beta akan menyerahkan muka di pangkuan Bunda. 29 Mei 1935 18. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “KEMBALI” Ketika beta terjaga di dini hari Melihat alam sepermai ini, Terasalah beta darah baru Gembira berdebur di dalam kalbu. Girang unggas bersuka ria, Gemilang sekar bermegah warna. Mega muda bermain di awang, Kemilau embun menyambut terang. Hidup, hiduplah jiwa, Turut gembira turut mencipta Dalam alam indah jelita Jalan waktu terhambat tiada, Siang terkembang malamlah tiba Percuma dahlia tiada berbunga. 8 Mei 1935 19. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “API SUCI” Selama nafas masih mengalun, Selama jantung masih memukul, Wahai api, bakarlah jiwaku, Biar mengaduh biar mengeluh. Seperti baja merah membara, Dalam bakaran Nyala Raya, Biar jiwaku habis terlebur, Dalam kobaran Nyala Raya. Sesak mendesak rasa di kalbu, Gelisah liar mata memandang, Di mana duduk rasa dikejar. Demikian rahmat tumpahkan selalu, Nikmat rasa api menghangus, Nyanyian semata bunyi jeritku. 20. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “AWAN BERKUAK” Duduk beta merenung awan, Bercerai menipis di langit biru. Sayu sendu alun di kalbu, Menurut mega berkuak menjauh. Wahai Chalik, mengapa kejam Seganas ini hidup di dunia? Mengapa gerang dicerai pisah Segala yang asik bercinta? Menangislah jiwa tersedu-sedu Mengalirlah air mata berduyun-duyun. Dalam jiwa sedang meratap, Dalam sukma pilu mengeluh, Menyerbu sinar ke dalam kabut, Menjelma kembali awan menjauh. Beta melihat kilau bergurau, Beta menyambut suria bersinar. Segar gembira sukma menggetar Menunda melanda pergi berjuang 14 Mei 1935 21. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “SESUDAH TOPAN” Bertiup, bertiuplah topan! Liukan, lengkungkan, patahkan, hempaskan jangan sepala. Terbangkan daun sampai ke langit. Tundukkan puncak menyembah bumi, Serakkan ranting menabur tanah. Biar mengaduh, biar mengelur biar mengerang putus suara, Kacaulah perdu, adulah pohon, rusak remuk berpatah-patahan, Gugurkan buah segala, tua muda jangan dihitung. Apabila topan sudah berhenti, Apabila hujan reda kembali, sinar suria turun ke tanah. Beta melihat tunas memecah dan di tanah lembah kecambah mengorak daun. 10 Mei 1935 22. Puisi Sutan Takdir Alisjahbana “PERJUANGAN” Kepada Taman Siswa Tenteram dan damai? Tidak, tidak Tuhanku! Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi. Terteram dan damai berbaju putih di dalam kubur. Tetapi hidup ialah perjuangan. Perjuangan semata lautan segara. Perjuangan semata alam semesta. Hanya dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai. Hanya dalam berjuang berkobar Engkau Tuhanku di dalam dada. 24 Juli 1935 Post Views 39 Tulisan Terkait
2) fungsi estetika kumpulan puisi pujangga baru dalam setiap objeknya yaitu: Puisi Aku memiliki fungsi estetika menggambarkan semangat perjuangan dengan bentuk yang menarik, puisi Bahasa, Bangsa
.
  • 1zi69rr2at.pages.dev/86
  • 1zi69rr2at.pages.dev/817
  • 1zi69rr2at.pages.dev/417
  • 1zi69rr2at.pages.dev/234
  • 1zi69rr2at.pages.dev/904
  • 1zi69rr2at.pages.dev/923
  • 1zi69rr2at.pages.dev/803
  • 1zi69rr2at.pages.dev/935
  • 1zi69rr2at.pages.dev/917
  • 1zi69rr2at.pages.dev/439
  • 1zi69rr2at.pages.dev/620
  • 1zi69rr2at.pages.dev/191
  • 1zi69rr2at.pages.dev/662
  • 1zi69rr2at.pages.dev/617
  • 1zi69rr2at.pages.dev/34
  • puisi aku dan tuhanku karya sutan takdir alisjahbana